Istilah Bhinneka Tunggal Ika Dalam Pancasila Dituangkan Dalam Sila
Apa yang dimaksud Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa?
Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma diambil dari kalimat lengkap Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Dalam aksara latin, bait lengkap Bhinneka Tunggal Ika berbunyi: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
Terjemahannya: “konon antara ajaran Buddha dan Hindu berbeda, namun kapan Tuhan dapat dibagi-bagi, sebab kebenaran Jina dan Siwa adalah tunggal, berbeda itu tapi satu jualah itu, tak ada dharma (jalan kebaktian/kebaikan) yang mendua tujuan.”
Kitab Sutasoma menunjukkan bahwa dalam sejarah Majapahit abad ke-14 semangat toleransi kehidupan beragama sangat tinggi.
Digambarkan bahwa dua agama besar Hindu dan Budha hidup secara bersama dengan rukun dan damai. Kedua agama besar itu beriringan di bawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk.
Oleh karena itu meskipun Budha dan Siwa merupakan dua substansi yang berbeda, namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Budha dan kebenaran Siwa bermuara pada hal Satu. Mereka memang berbeda, tetapi sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam kebenaran.
tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Balqis FallahndaPenulis: Balqis FallahndaEditor: Iswara N Raditya & Balqis Fallahnda
Unity in Diversity, the official national motto of Indonesia
JAKARTA, iNews.id - Sejarah dan makna Bhinneka Tunggal Ika dalam Kitab Sutasoma perlu diketahui oleh semua orang, tak terkecuali warga negara Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semboyan tersebut dapat kita temukan di Garuda Pancasila.
Keberagaman yang Bersatu
Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya dari Sabang-Merauke. Banyak perbedaan itulah yang membuat Indonesia dikatakan sebagai negara yang unik. Meski berbeda-beda, semangat persatuan dan kesatuan untuk negara tetap harus berkobar.
Asal mula Bhinneka Tunggal Ika
Kutipan frasa Bhinneka Tunggal Ika terdapat di dalam Kakawin Sutasoma pada pupuh 139 bait 5. Berikut isinya.
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Karena itu, dari Kitab Sutasoma frasa Bhinneka Tunggal Ika ikut lahir. Kini frasa itu menjadi semboyan rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. (OL-14)
Sejarah Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan nasional Indonesia. Arti dari simbol tersebut adalah berbeda-beda tetapi tetap satu meski ada perbedaan namun tetap harus bersatu.
Bhinneka Tunggal Ika sendiri terdapat pada Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Kakawin berbahasa Jawa Kuno itu ditulis olehnya pada masa kekuasaan Raja Majapahit, Hayam Wuruk tepatnya pada akhir abad ke-14.
Pengertian Bhinneka Tunggal Ika dalam Buku Sutasoma
Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular ditulis pada masa kerajaan Majapahit, tepatnya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, sekitar abad ke 14.
Hasan Irsyad dkk dalam jurnal STILISTIKA Vol. 9 No. 2 Juli–Desember 2016 menjelaskan bahwa pada kakawin inilah dapat ditemukan teks asli Bhinneka Tunggal Ika, yakni pada pupuh CXXXIX bait kelima baris empat.
Rizal Mustansyir dalam Jurnal Filsafat Agustus ’95 menulis bahwa istilah Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa dari bahasa Sansekerta, “Bhinneka”, “Tunggal”, dan “Ika” berasal dari kata "Bhinna + Ika" yang berarti "berbeda-beda itu"; "Tunggal" artinya satu; "Ika" yang berarti "itu".
Jadi istilah "Bhinneka Tunggal Ika" secara etimologis berarti: Berbeda-beda itu dalam satu itu. Kata itu yang pertama merupakan rangkaian dengan kata "Bhinna", yakni "berbeda-beda itu".
Kata "itu" yang kedua secara deiktik mengacu pada bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika dalam arti yang luas yaitu, beranekaragam etnik, budaya dan agama, namun ada dalam kesatuan yakni bangsa Indonesia.
Kesatuan di sini merupakan hasil kesepakatan bangsa Indonesia untuk mengatasi keanekaragaman yang ada, sehingga dapat mencegah timbulnya konflik.
Bhinneka Tunggal Ika dalam hal ini mengandung aspek keharusan (das Sollen) bagi keutuhan bangsa Indonesia.
Pengertian Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara Garuda Pancasila
Setelah kemerdekaan, kata Bhinneka Tunggal Ika dari Buku Sutasoma digunakan kembali oleh bangsa Indonesia.
Sebab, hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki banyak perbedaan latar belakang.
Perbedaan atau keberagaman pada masyarakat Indonesia ini meliputi suku, agama, ras, budaya, dan lainnya.
Meski hidup di tengah keberagaman, masyarakat harus tetap bersatu untuk meraih kedaulatan Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika dirasa sangat cocok untuk membentuk bangsa yang kokoh di tengah banyak perbedaan.
Karena Bhinneka Tunggal Ika sudah mendarah daging, maka semboyan ini jadi bagian lambang Garuda Pancasila.
Baca Juga: Pengertian dan Makna Bhinneka Tunggal Ika dalam Persatuan, Materi PPKn
Telah menjadi semboyan nasional, maka Bhinneka Tunggal Ika mengalami pergeseran makna asli.
Sejak jadi semboyan nasional, pengertian Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi berkaitan dengan suatu keyakinan tertentu.
Pengertian Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara Garuda Pancasila adalah berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Warisan Budaya Indonesia Foundation Hadirkan Gathering Bhinneka Tunggal Ika, Ini Tujuannya
Istilah Bhinneka Tunggal Ika ini bersumber dari bahasa Sansekerta. Bhinneka berasal dari gabungan kata suku kata Bhinna yang artinya berbeda-beda dan Ika yang artinya itu atau tunggal.
Menurut Sri Wintala Achmad pada bukunya yang berjudul Pesona dan Sisi Kelam Majapahit, kitab Sutasoma berisikan mengenai hal-hal religius yang berhubungan dengan Buddha Mahayana dan agama Siwa. Tak hanya itu, Kitab Sutasoma juga berisikan pentingnya sikap toleransi dalam perbedaan agama.
Frasa Bhinneka Tunggal Ika terdapat pada Kitab Sutasoma pada pupuh 139 bait 5. Berikut inilah isinya: Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Sejak saat itulah Bhinneka Tunggal Ika digunakan pertama kali di Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yang digelar tepatnya pada 11 Februari 1950.
Usulan Bhinneka Tunggal Ika yang diajukan oleh Sultan Hamid II sebagai semboyan negara Indonesia. Kemudian, semboyan itu akhirnya diperkenalkan pada 17 Agustus 1950.
Adapun makna Bhinneka Tunggal Ika yakni sebagai berikut:
Toleransi dan Saling Menghormati
Bhinneka Tunggal Ika memberikan pemahaman mengenai arti pentingnya saling menghormati antar sesama. Serta hidup berdampingan di tengah-tengah perbedaan masyarakat.
Tak hanya itu, rakyat Indonesia juga diharapkan mampu untuk menghormati dalam berbagai aspek kehidupan, seperti berbudaya, beragama, dan berkeyakinan.
Makna Bhinneka Tunggal Ika
Indonesian national motto
Bhinneka Tunggal Ika is the official national motto of Indonesia. It is inscribed in the national emblem of Indonesia, the Garuda Pancasila, written on the scroll gripped by the Garuda's claws. The phrase comes from Old Javanese, meaning "Unity in Diversity," and is enshrined in article 36A of the Constitution of Indonesia. The motto refers to the unity and integrity of Indonesia, a nation consisting of various cultures, regional languages, races, ethnicities, religions, and beliefs.
The phrase is a quotation from an Old Javanese poem Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular, a famous poet of Javanese literature during the reign of the Majapahit empire in the 14th century, under the reign of King Rājasanagara (also known as Hayam Wuruk).
Translated word for word, bhinnêka is a sandhi form of bhinna meaning "different"; the word tunggal means "one" and the word ika means "it". Literally, Bhinneka Tunggal Ika is translated as "It is different, [yet] it is one". Conventionally, the phrase is translated as "Unity in Diversity",[1] which means that despite being diverse, the Indonesian people are still one unit. This motto is used to describe the unity and integrity of Indonesia which consists of various cultures, regional languages, races, ethnicities, religions, and beliefs. As head of the Faculty of Philosophy of Gadjah Mada University, Rizal Mustansyir, writes, "the motto of Bhinneka Tunggal Ika explains clearly that there is diversity in various aspects of life that makes the Indonesian nation a unified nation."[2]
The phrase originated from the Old Javanese poem Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular a famous poet of Javanese Literature during the reign of the Majapahit empire sometime in the 14th century, under the reign of King Rājasanagara, also known as Hayam Wuruk.[3] The Kakawin contains epic poems written in metres. The poem is notable as it promotes tolerance between Hindus (especially Shivaites) and Buddhists.[4]
The phrase Bhinneka Tunggal Ika was published in an article entitled Verspreide Geschriften which was written by a Dutch linguist orientalist Johan Hendrik Casper Kern. Kern's writings were later read by Mohammad Yamin, who then brought the phrase to the first Investigating Committee for Preparatory Work for Independence (BPUPK) session, between 29 May to 1 June 1945.[5]
The motto Bhinneka Tunggal Ika was later incorporated into the state emblem, the Garuda Pancasila. Reporting from the Directorate General of Culture of the Republic of Indonesia, the state symbol was designed by Sultan Hamid II and announced to the public on 15 February 1950.[6]
The phrase, along with Pancasila as national emblem and 20 other articles, is officially included into the Constitution of Indonesia after the second amendment of the constitution was ratified on People's Consultative Assembly (MPR) parliamentary session in 7–18 August 2000.[7][8]
This quotation comes from canto 139, stanza 5. The full stanza reads as follows:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
It is said that the well-known Buddha and Shiva are two different substances. They are indeed different, yet how is it possible to recognise their difference in a glance, since the truth of Jina (Buddha) and the truth of Shiva is one. They are indeed different, but they are of the same kind, as there is no duality in Truth.
This translation is based, with minor adaptations, on the critical text edition by Soewito Santoso.[1]
This idea is a constant theme throughout Mpu Tantular's writings and can also be found in his other writing, the Kakawin Arjunawijaya, canto 27 stanza 2:[9][10]
ndan kantênanya, haji, tan hana bheda saṅ hyaṅ hyaṅ Buddha rakwa kalawan Śiwarājadewa kālih samêka sira saṅ pinakeṣṭi dharma riṅ dharma sīma tuwi yan lêpas adwitīya
Clearly then, Your Majesty, there is no distinction between the Deities: the hyaṅ Buddha and Siwa, the lord of gods, both are the same, they are the goals of the religions; in the dharma sīma as well as in the dharma lêpas they are second to none.
Memahami pengertian Bhinneka Tunggal Ika dalam buku Sutasoma dan lambang negara garuda Pancasila.
Bobo.id - Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara yang pastinya sudah kita kenal dengan baik, ya, teman-teman.
Arti Bhinneka Tunggal Ika adalah "berbeda-beda tapi tetap satu jua".
Namun, tahukah teman-teman dari mana semboyan ini berasal?
Benarkah semboyan ini berasal dari buku atau kitab Sutasoma dari zaman Majapahit?
Lalu apa pengertian dari Bhinneka Tunggal Ika dalam buku Sutasoma dan dalam lambang negara garuda Pancasila?
Kita bahas bersama-sama untuk memperluas wawasan kita, yuk!
Pengertian Bhinneka Tunggal Ika dalam Buku Sutasoma
Dirangkum dari situs Pemerintah Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika dituliskan dalam kitab atau buku Sutasoma karangan Mpu Tantular pada masa Majapahit sekitar abad ke-14.
Dalam buku Sutasoma, Istilah "Bhinneka Tunggal Ika" tertulis pada pupuh 139 bait 5. Berikut ini adalah potongan bait di buku Sutasoma yang memuat Bhinneka Tunggal Ika.
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wisma,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Baca Juga: Apa Makna dari Semboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika? Materi PPKn
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda,
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal,
Terpecah belahlah itu, tapi tetap satu jua, seperti tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Buku Sutasoma membahas perbedaan kepercayaan di kalangan masyarakat Majapahit yang mengajarkan toleransi kehidupan beragama yang hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Lebih lanjut, meski Hindu dan Buddha merupakan dua ajaran yang berbeda, perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan karena kebenaran dalam keyakinan apapun nantinya akan bermuara pada hal yang satu.
Istilah Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Sansekerta. "Bhinneka" berasal dari gabungan kata "bhinna" yang artinya "berbeda-beda" dan "Ika" yang artinya "itu" atau "tunggal".
Sehingga, pengertian Bhinneka Tunggal Ika dalam buku Sutasoma terkait dengan keyakinan Hindu dan Buddha yang melebur menjadi satu.
Baca Juga: Makna Simbol Bhinneka Tunggal Ika dalam Keberagaman, Materi PPKn
Pengertian Bhinneka Tunggal Ika dalam Lambang Garuda Pancasila
Pada awalnya, Bhinneka Tunggal Ika digunakan untuk mendamaikan masyarakat pemeluk agama Hindu dan Budha saat zaman Majapahit.
Kemudian, penggalan dari Kitab Sutasoma digunakan kembali oleh bangsa Indonesia setelah kemerdekaan, setelah diteliti kembali oleh Mohammad Yamin.
Tentu hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang punya perbedaan latar belakang, tetapi bersatu untuk meraih kedaulatan.
Bhinneka Tunggal Ika pun juga bisa diterima secara luas, bukan hanya keyakinan Hindu dan Buddha saja, melainkan semua keyakinan di Indonesia.
Semboyan ini dirasa sangat cocok untuk bangsa Indonesia yang memiliki begitu banyak perbedaan, tapi tetap menjadi bangsa yang kokoh.
Karena semboyan Bhinneka Tunggal Ika sudah mendarah daging, maka Bhinneka Tunggal Ika dijadikan bagian lambang garuda Pancasila.
Karena menjadi semboyan nasional, maka pengertian Bhinneka Tunggal Ika mengalami pergeseran makna asli, ya.
Makna Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi berkaitan dengan keyakinan tertentu saja.
Melainkan, pengertian Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang garuda Pancasila adalah "Berbeda-beda tapi tetap satu jua", yang kita kenal hingga sekarang.
(Penulis: Thea Arnaiz / Niken Bestari)
Baca Juga: Asal Mula Semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' yang Ada di Kaki Burung Garuda
Siapa penulis buku Sutasoma?
Petunjuk: cek di halaman 1!
Lihat juga video ini, yuk!
Ingin tahu lebih banyak tentang sains, dongeng fantasi, cerita misteri, dan dunia satwa? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo dan Mombi SD.
Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.
Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan
Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.
Belajar Empati dengan Berbagi, SPK Jakarta Nanyang School Kunjungi Panti Asuhan Desa Putera
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara Indonesia yaitu Garuda Pancasila. Semboyan negara ini menggambarkan kondisi Indonesia yang mempunyai banyak keragaman suku, budaya, adat dan agama namun tetap menjadi satu bangsa utuh.[1] Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah “Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.[2]
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan demikian sangat wajar apabila mempunyai banyak suku, agama, ras, dan antar golongan. Keragaman tersebut hidup saling menghormati dan menghargai dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.[3]
Kata bhinnêka berasal dari dua kata yang mengalami sandi, yaitu bhinna 'terpisah, berbeda' dan ika 'itu'. Kata tunggal berarti 'satu'. Secara harfiah, Bhinneka Tunggal Ika secara eksplisit dapat diartikan "Berbeda itu tetap satu", yang bermakna meskipun dalam aneka keberanekaragaman — pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh nan kokoh. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam adat, istiadat dan budaya, serta bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan serta kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular sekitar abad ke-14, di bawah pemerintahan Raja Rājasanagara, yang juga dikenal sebagai Hayam Wuruk Maharaja ke-4 Majapahit yang memerintah tahun 1350–1389, Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.[4]
Tujuan dari Bhinneka Tunggal Ika adalah untuk mengembangkan motivasi dan menghargai keragaman. Tanpa wawasan tersebut, akan sulit untuk memajukan kedaulatan dan kemerdekaan nasional Indonesia.
Cita-cita tersebut menjadi landasan nasionalisme masyarakat Indonesia. Tujuan dari kebangkitan nasionalis yang dipimpin Bhinneka Tunggal Ika adalah untuk menanamkan loyalitas dan dedikasi pada masyarakat dan bangsa.[1]
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Terjemahan ini didasarkan, dengan adaptasi kecil, pada edisi teks kritis oleh Dr. Soewito Santoso.[5]
Tarian dengan peserta berpakaian adat suku-suku di Indonesia.
Arak-arakan dengan tulisan "Bhinneka Tunggal Ika" menampilkan anak-anak dengan baju adat berbagai suku di Indonesia.
Penyanyi-penyanyi mengenakan pakaian adat di Indonesia
Anak-anak berpakaian adat daerah, umumnya digunakan untuk mengekspresikan keanekaragaman Indonesia.
Karnaval baju daerah untuk menunjukkan keberagaman budaya.
tirto.id - Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi salah satu instrumen dari lambang negara. Sebagai semboyan Bangsa Indonesia, kalimat Bhinneka Tunggal Ika tertulis di lambang negara, yakni Garuda Pancasila.
Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan NKRI dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut, regulasi mengenai semboyan negara diperkuat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Pada Pasal 1 disebutkan bahwa semboyan itu ditulis di atas pita yang dicengkram oleh Garuda sebagai lambang negara Republik Indonesia.
Pada pasal 5 dijelaskan bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa kuno yang ditulis dengan huruf latin.
Berdasarkan data sejarah, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang diambil dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad 14.
Mengutip buku Bhinneka Tunggal Ika dan Integrasi Nasional terbitan Pusat Pengkajian MPR RI, istilah Bhinneka Tunggal Ika pertama kali digunakan pada tahun 1950 dalam sebuah Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat.
Berdasarkan rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II, semboyan Bhinneka Tinggal Ika dimasukkan ke dalam lambang negara. Dengan posisi menempel di pita yang dicengkeram Burung Garuda, ungkapan dalam bahasa Jawa kuno itu disetujui oleh semua peserta sidang tanpa penolakan.